Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pemerintahan Kabinet Wilopo (1952-1953)
Biografi Singkat Wilopo
Kebijakan Politik
Masalah lain yang diwarisi dari kabinet Sukiman ialah
mengenai perundingan San Fransisco. Perjanjian perdamaian dengan Jepang ini
menimbulkan pro kontra sejak kabinet Sukiman dikarenakan dianggap memihak blok
barat. Oleh karena itu, pada masa Wilopo pengesahan perjanjian ini ditunda dan memanggil
kembali Duta Besar Sudjono, kemudian
menurunkan tingkat Perwakilan RI di Tokyo menjadi
Konsulat Jenderal RI. Untuk negosiasi dengan Jepang, pada 19 Juni 1953
kabinet memutuskan membentuk panitia ad hoc yang diketuai Sudarsono – yang merupakan
Kepala Direktorat Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri – untuk menyelidiki
masalah pampasan perang dengan cermat.
Sejalan dengan itu, PNI menolak Traktat San Francisco.
Selain itu, mereka juga mendukung rencana pemerintah menurunkan status kantor
perwakilan di Tokyo menjadi konsulat jenderal karena Indonesia belum memberikan
pengakuan resmi kepada Jepang. Posisi baru PNI ini didukung oleh Parkindo
(Partai Kristen Indonesia), yang selalu menjadi bagian dari koalisi, tetapi
menyarankan pemerintah untuk menunda semua perjanjian dengan Jepang, dan Indonesia
tidak boleh membuka pos perwakilannya di Tokyo sampai Jepang menjadi anggota
PBB.
Lalu mengenai pembebasan Irian Barat, belum ada kemajuan yang signifikan pada kabinet ini. Namun justru ialah rencana untuk mengubah status hubungan Indonesia dengan Belanda yang semula berdasarkan asas unie-statuut (Uni Indonesia-Belanda) menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa. Pemerintah juga menyatakan bahwa soal Irian Barat ini bukanlah soal yang mudah, mengingat ini termasuk permasalahan Internasional. Perlu kekuatan dan kepandaian untuk meneruskan perjuangan tersebut ·
Politik dalam Negeri
Sementara persoalan yang dihadapi pemerintahan kabinet Wilopo ialah masalah di bidang militer dan keamanan. Inilah masalah fiskal dan ekonomi dengan implisit politik langsung. Kemerosotan mengharuskan pemerintah untuk membuat pilihan yang menyakitkan antara mengubah cara asli untuk mengalokasikan sumber dayanya yang terpotong. Kebijakan kabinet Wilopo menyerukan penghapusan berbagai bentuk perlindungan, untuk merencanakan anggaran yang ketat dan pengawasan yang hati-hati dari semua pengeluaran oleh departemen pemerintah, dan, yang paling kontroversial dari semuanya, untuk rasionalisasi personel militer, dan kemudian mungkin sipil. ada akhirnya permasalahan mengenai angkatan perang ini berbuntut panjang ditandai dengan mulai diperdebatkannya dalam parlemen antara kubu yang pro dan kubu yang kontra terhadap kebijakan pemerintah tersebut (Simanjuntak, 2013, hlm. 130). Perdebatan tersebut berlangsung berbulan-bulan dan ketegangan kemudian meningkat setelah surat Kol. Bambang Supeno yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasaanya kepada pimpinan tentara.
Adapun
penyebab Kol. Bambang Supeno bertindak demikian, antara lain bahwa Tuduhan-tuduhan
ini harus dilihat dengan mengingat kritik-kritik yang telah dilontarkan Bambang
Supeno beserta sekolah perwira Tjandradimuka yang dipimpinnya. Dikatakan bahwa
sekolah itu yang berlaku adalah semangat militer gaya Jepang, yang menekankan
ideologis dan politis tentara. Tatkala semangat semacam itu dikritik oleh para
tokoh militer profesional dan non-politisi, Bambang Supeno mengadukan persoalan
ini kepada Presiden Soekarno.
Hal
tersebut menimbulkan reaksi dari pihak militer, bahwasanya perdebatan panjang
di parlemen merupakan bentuk intervensi yang nyata terhadap persoalan internal
militer. Demikian Letnan.
Kol. Maludin Simbolon, Panglima Sumut, berbicara tentang bahaya campur tangan
politik langsung dalam kebijakan penempatan tentara. Apa yang terjadi pada
pertemuan bersejarah ini tidak segera dipublikasikan secara resmi, dan
dilaporkan dalam berbagai bentuk oleh berbagai pihak yang menjadi perhatian.
Kenyataannya, hal itu menjadi pokok kontroversi yang keras, tidak hanya antara
surat kabar dan partai politik, tetapi bahkan di antara berbagai juru bicara
resmi angkatan bersenjata. Jadi itu dan sulit untuk mengetahui dengan tepat apa
yang terjadi. Tapi pola umumnya jelas. Sutoko menyampaikan kepada Presiden
sebuah pernyataan yang dibuat oleh para pejabat setelah pertemuan mereka pada
tanggal 16 Oktober dan dini hari tanggal 17 Oktober, yang memutuskan
"mendesak Kepala Negara untuk membubarkan parlemen sementara saat ini dan
membentuk parlemen baru dalam waktu sesingkat mungkin dengan cara yang mempertimbangkan
keinginan rakyat." Sementara pasukan tentara
bersiap di seputar massa, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato
cemerlang, disampaikan dengan gayanya yang tenang dan membakar. Ia menyatakan
bahwa ia tidak dapat membubarkan Parlemen, dan bahwa ia tidak punya niat untuk
menjadi diktator.
Tuntutan
agar pemilu segera diadakan, Pemilu
secara luas dipandang sebagai jalan keluar dari situasi ketidakstabilan
politik, yang telah mencapai puncaknya
dalam periode krisis 17 Oktober. Pada akhirnya, pada akhir November 1952 Pemerintah
menyampaikan RUU Pemilu. RUU Pemilu ini merupakan hasil kerja keras Panitia ad
hoc tingkat Menteri yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kehakiman. Setelah melampaui banyak kesulitan, akhirnya pada 1 April 1953
Kabinet bersama Parlemen telah berhasil menyelesaikan UU No. 7 tahun 1953 dan
kemudian disahkan pada 4 April 1953.
Dalam pembahasan sebelumnya, masalah yang menjadi sorotan dalam penyusunan RUU Pemilu ini adalah mengenai pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilaksanakan terlebih dahulu atau sekaligus dengan pemilihan konstituante. Maka pada tanggal 21 Oktober 1952 kabinet mengambil keputusan resmi untuk mempercepat penyelenggaraan pemilihan Majelis Konstituante. Pada tanggal 25 Menlu Mukarto menyatakan bahwa pemilihan akan dimulai pada pertengahan tahun 1953. Tiga hari kemudian Menteri Perekonomian dan Dalam Negeri, Sumanang dan Roem, memerintahkan penayangan 50 juta "kartu pemilih" dalam waktu satu bulan untuk tujuan tertentu. pendaftaran, dan pada hari yang sama Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata mengumumkan keputusan kabinet untuk pemilihan umum dengan sistem pemungutan suara langsung.
Demikian debat pemilu yang datang dan menyatu dengan isu 17 Oktober semakin menegaskan kecenderungan polarisasi politik yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika ketakutan akan pemilihan umum telah menjadi faktor yang mendesak PNI dan kelompok-kelompok nasionalis kecil dan "oposisi" untuk bekerja sama dengan kaum Komunis pada pertengahan tahun 1952, maka faktor yang lebih penting adalah setelah 17 Oktober, ketika kemungkinannya diadakan lebih awal. pemilu menjadi jauh lebih besar. Demikian pula PSI, yang semakin terdesak oleh Masyumi oleh kegagalan Peristiwa 17 Oktober, mampu mendekatkan diri ke partai ini atas dasar kesamaan sikap dalam masalah pemilu.
Tantangan dan Kejatuhan Kabinet Wilopo
Jatuhnya Kabinet Wilopo lagi-lagi disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya yang kali ini dilontarkan oleh Serikat Tani Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena munculnya peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa penganiayaan antara aparat kepolisian dengan para petani (penduduk) setempat yang mendukung PKI terkait persoalan tanah perkebunan di Deli, Sumatera Timur (saat ini di Sumatera Utara). Peristiwa ini dipicu dengan pembunuhan tanah milik Deli Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian diminta untuk dikembalikan ke DPV. Usaha perjuangan tanah ini mendapat perlawanan dari penduduk karena mereka merasa tanah ini adalah milik mereka.
Hal tersebut dianggap telah menghambat pembebasan tanah DPV, sehingga pemerintah menggunakan alat-alat kekuatan negara untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur, tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi. Para petani tidak diam begitu saja, mereka pun melawan yang pada akhirnya mengakibatkan insiden, sebanyak lima orang petani meninggal. Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut pemerintah agar menghentikan seluruh upaya pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV dan semua pertahanan yang berkaitan dengan peristiwa Tanjung Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan tersebut akhirnya menjadi salah satu alasan utama Kabinet Wilopo jatuh.
DAFTAR PUSTAKA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar