Langsung ke konten utama

Unggulan

Perkembangan Politik dan Militer Masa Demokrasi Terpimpin Hingga transisi ke masa Orde Baru

            Disebut demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia pada saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekamo. Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan presiden sangat besar dan mutlak, sedangkan aktivitas dibatasi. Karena kekuasaan presiden yang muda tersebut mengakibatkan penataan kehidupan politik menyimpang dan tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralitas atau pemusatan kekuasaan ditangan presiden yang mana Presiden menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus dengan menjadi Presiden dan Perdana Menteri. Berikut merupakan pelaksanaan atau hal-hal yang dilaksanakan pada saat demokrasi tepimpin. Pembentukan MPRS Pembubaran DPR dan pembentukan DPR GR Pembentukan dewan pertimbangan agung sementara Pembentukan-pembentukan ini didasari oleh keinginan langsung Soekarno dan dianggap penyimpangan. Seperti Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR...

Pemerintahan Kabinet Wilopo (1952-1953)

 

Kabinet Wilopo (Sumber: Sumber Sejarah)

              Biografi Singkat Wilopo

            Wilopo lahir pada tanggal 21 Oktober, tahun 1909 di Kota Purworejo. Ayahnya merupakan seorang yang terdidik, dibuktikan dengan kemampuan fasihnya dalam berbicara hingga menulis dalam bahasa Belanda. Wilopo tumbuh besar dari adanya pencampuran dua kebudayaan sekaligus, yaitu Islam dan Jawa (Kejawen). Sinkretisme dua keyakinan ini, membentuk Wilopo sebagai pribadi yang religius serta karirnya sebagai politikus, sekaligus nantinya Perdana Menteri Indonesia yang selanjutnya, menggantikan Kabinet Sukiman. Wilopo memulai sekolahnya di HIS (Holland Inlandsche School). Sekolah ini sebelumnya dinamakan ‘Sekolah Ongko Siji’, Wilopo sendiri mempunyai alasan tersendiri mengenai pilihannya yang jatuh pada HIS, karena keinginannya untuk melanjutkan sekolah di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Setelah dinyatakan lulus dari OSVIA, atas saran dari saudaranya, Wilopo kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). 
             Wilopo kemudian mantap untuk melanjutkan sekolahnya, tepatnya di Kota Magelang. Disana dia harus tinggal di rumah Janda Wedana Bandungan, serta membayar sewa kamar sebanyak f12.5 gulden. Selama bulan-bulan awal, Dokter Soekardi rutin memberikan bantuan biaya kepada Wilopo, sampai akhirnya Wilopo memperoleh beasiswa untuk kebutuhan sekolah dan kehidupannya sehari-hari di Magelang. 4 Tahun setelah menempuh pendidikannya di MULO, Wilopo kembali melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemene Middelbare School) B di Yogyakarta. Selama berada di kota tersebut, Wilopo tumbuh menjadi pribadi yang mandiri serta independen, dia juga sering membaca berbagai jenis surat kabar seperti: De Locomotif, Darmo Kondo, serta Soeara Oemomom. Melalui aktivitas membacanya, Wilopo kemudian mengenal nama Soekarno yang saat itu merupakan pendiri Partai Nasional Indonesia. 

          Kebijakan Politik

            Setelah kabinet Sukiman lengser dikarenakan masalah MSA, Kabinet Wilopo pun masih dibayang-bayangi masalah tersebut, sehingga perlu solusi penyelesaiannya. Pada awal bulan Mei 1952, pemerintah mengutus Duta Besar RI di Washington untuk menghubungi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, guna mendapatkan perjanjian dengan syarat yang lebih longgar. Walaupun dengan menghadapi perundingan yang cukup alot pemerintah akhirnya bisa merubah bantuan yang diberikan Amerika. Bantuan MSA dapat dirubah menjadi bantuan teknis dan ekonomis kepada Indonesia melalui Technical Cooperation Administration (TCA).

Masalah lain yang diwarisi dari kabinet Sukiman ialah mengenai perundingan San Fransisco. Perjanjian perdamaian dengan Jepang ini menimbulkan pro kontra sejak kabinet Sukiman dikarenakan dianggap memihak blok barat. Oleh karena itu, pada masa Wilopo pengesahan perjanjian ini ditunda dan memanggil kembali Duta Besar Sudjono, kemudian menurunkan tingkat Perwakilan RI di Tokyo menjadi Konsulat Jenderal RI. Untuk negosiasi dengan Jepang, pada 19 Juni 1953 kabinet memutuskan membentuk panitia ad hoc yang diketuai Sudarsono – yang merupakan Kepala Direktorat Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri – untuk menyelidiki masalah pampasan perang dengan cermat.

Sejalan dengan itu, PNI menolak Traktat San Francisco. Selain itu, mereka juga mendukung rencana pemerintah menurunkan status kantor perwakilan di Tokyo menjadi konsulat jenderal karena Indonesia belum memberikan pengakuan resmi kepada Jepang. Posisi baru PNI ini didukung oleh Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang selalu menjadi bagian dari koalisi, tetapi menyarankan pemerintah untuk menunda semua perjanjian dengan Jepang, dan Indonesia tidak boleh membuka pos perwakilannya di Tokyo sampai Jepang menjadi anggota PBB.

Lalu mengenai pembebasan Irian Barat, belum ada kemajuan yang signifikan pada kabinet ini. Namun justru ialah rencana untuk mengubah status hubungan Indonesia dengan Belanda yang semula berdasarkan asas unie-statuut (Uni Indonesia-Belanda) menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa. Pemerintah juga menyatakan bahwa soal Irian Barat ini bukanlah soal yang mudah, mengingat ini termasuk permasalahan Internasional. Perlu kekuatan dan kepandaian untuk meneruskan perjuangan tersebut ·         

Politik dalam Negeri 

Sementara persoalan yang dihadapi pemerintahan kabinet Wilopo ialah masalah di bidang militer dan keamanan. Inilah masalah fiskal dan ekonomi dengan implisit politik langsung. Kemerosotan mengharuskan pemerintah untuk membuat pilihan yang menyakitkan antara mengubah cara asli untuk mengalokasikan sumber dayanya yang terpotong. Kebijakan kabinet Wilopo menyerukan penghapusan berbagai bentuk perlindungan, untuk merencanakan anggaran yang ketat dan pengawasan yang hati-hati dari semua pengeluaran oleh departemen pemerintah, dan, yang paling kontroversial dari semuanya, untuk rasionalisasi personel militer, dan kemudian mungkin sipil. ada akhirnya permasalahan mengenai angkatan perang ini berbuntut panjang ditandai dengan mulai diperdebatkannya dalam parlemen antara kubu yang pro dan kubu yang kontra terhadap kebijakan pemerintah tersebut (Simanjuntak, 2013, hlm. 130). Perdebatan tersebut berlangsung berbulan-bulan dan ketegangan kemudian meningkat setelah surat Kol. Bambang Supeno yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasaanya kepada pimpinan tentara.

Adapun penyebab Kol. Bambang Supeno bertindak demikian, antara lain bahwa Tuduhan-tuduhan ini harus dilihat dengan mengingat kritik-kritik yang telah dilontarkan Bambang Supeno beserta sekolah perwira Tjandradimuka yang dipimpinnya. Dikatakan bahwa sekolah itu yang berlaku adalah semangat militer gaya Jepang, yang menekankan ideologis dan politis tentara. Tatkala semangat semacam itu dikritik oleh para tokoh militer profesional dan non-politisi, Bambang Supeno mengadukan persoalan ini kepada Presiden Soekarno.

Hal tersebut menimbulkan reaksi dari pihak militer, bahwasanya perdebatan panjang di parlemen merupakan bentuk intervensi yang nyata terhadap persoalan internal militer. Demikian Letnan. Kol. Maludin Simbolon, Panglima Sumut, berbicara tentang bahaya campur tangan politik langsung dalam kebijakan penempatan tentara. Apa yang terjadi pada pertemuan bersejarah ini tidak segera dipublikasikan secara resmi, dan dilaporkan dalam berbagai bentuk oleh berbagai pihak yang menjadi perhatian. Kenyataannya, hal itu menjadi pokok kontroversi yang keras, tidak hanya antara surat kabar dan partai politik, tetapi bahkan di antara berbagai juru bicara resmi angkatan bersenjata. Jadi itu dan sulit untuk mengetahui dengan tepat apa yang terjadi. Tapi pola umumnya jelas. Sutoko menyampaikan kepada Presiden sebuah pernyataan yang dibuat oleh para pejabat setelah pertemuan mereka pada tanggal 16 Oktober dan dini hari tanggal 17 Oktober, yang memutuskan "mendesak Kepala Negara untuk membubarkan parlemen sementara saat ini dan membentuk parlemen baru dalam waktu sesingkat mungkin dengan cara yang mempertimbangkan keinginan rakyat." Sementara pasukan tentara bersiap di seputar massa, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato cemerlang, disampaikan dengan gayanya yang tenang dan membakar. Ia menyatakan bahwa ia tidak dapat membubarkan Parlemen, dan bahwa ia tidak punya niat untuk menjadi diktator.

Tuntutan agar pemilu segera diadakan, Pemilu secara luas dipandang sebagai jalan keluar dari situasi ketidakstabilan politik, yang telah mencapai puncaknya dalam periode krisis 17 Oktober. Pada akhirnya, pada akhir November 1952 Pemerintah menyampaikan RUU Pemilu. RUU Pemilu ini merupakan hasil kerja keras Panitia ad hoc tingkat Menteri yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. Setelah melampaui banyak kesulitan, akhirnya pada 1 April 1953 Kabinet bersama Parlemen telah berhasil menyelesaikan UU No. 7 tahun 1953 dan kemudian disahkan pada 4 April 1953.

Dalam pembahasan sebelumnya, masalah yang menjadi sorotan dalam penyusunan RUU Pemilu ini adalah mengenai pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilaksanakan terlebih dahulu atau sekaligus dengan pemilihan konstituante. Maka pada tanggal 21 Oktober 1952 kabinet mengambil keputusan resmi untuk mempercepat penyelenggaraan pemilihan Majelis Konstituante. Pada tanggal 25 Menlu Mukarto menyatakan bahwa pemilihan akan dimulai pada pertengahan tahun 1953. Tiga hari kemudian Menteri Perekonomian dan Dalam Negeri, Sumanang dan Roem, memerintahkan penayangan 50 juta "kartu pemilih" dalam waktu satu bulan untuk tujuan tertentu. pendaftaran, dan pada hari yang sama Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata mengumumkan keputusan kabinet untuk pemilihan umum dengan sistem pemungutan suara langsung.

Demikian debat pemilu yang datang dan menyatu dengan isu 17 Oktober semakin menegaskan kecenderungan polarisasi politik yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika ketakutan akan pemilihan umum telah menjadi faktor yang mendesak PNI dan kelompok-kelompok nasionalis kecil dan "oposisi" untuk bekerja sama dengan kaum Komunis pada pertengahan tahun 1952, maka faktor yang lebih penting adalah setelah 17 Oktober, ketika kemungkinannya diadakan lebih awal. pemilu menjadi jauh lebih besar. Demikian pula PSI, yang semakin terdesak oleh Masyumi oleh kegagalan Peristiwa 17 Oktober, mampu mendekatkan diri ke partai ini atas dasar kesamaan sikap dalam masalah pemilu.

Tantangan dan Kejatuhan Kabinet Wilopo

Jatuhnya Kabinet Wilopo lagi-lagi disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya yang kali ini dilontarkan oleh Serikat Tani Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena munculnya peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa penganiayaan antara aparat kepolisian dengan para petani (penduduk) setempat yang mendukung PKI terkait persoalan tanah perkebunan di Deli, Sumatera Timur (saat ini di Sumatera Utara).  Peristiwa ini dipicu dengan pembunuhan tanah milik Deli Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian diminta untuk dikembalikan ke DPV. Usaha perjuangan tanah ini mendapat perlawanan dari penduduk karena mereka merasa tanah ini adalah milik mereka. 

Hal tersebut dianggap telah menghambat pembebasan tanah DPV, sehingga pemerintah menggunakan alat-alat kekuatan negara untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur, tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi. Para petani tidak diam begitu saja, mereka pun melawan yang pada akhirnya mengakibatkan insiden, sebanyak lima orang petani meninggal. Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut pemerintah agar menghentikan seluruh upaya pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV dan semua pertahanan yang berkaitan dengan peristiwa Tanjung Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan tersebut akhirnya menjadi salah satu alasan utama Kabinet Wilopo jatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Buku 
Feith, H. (2009). The Wilopo Cabinet, 1952-1953: a turning point in post-revolutionary Indonesia. Equinox Publishing. 

Artikel 
Maulana, A., & Santosa, A. B. (2019). Peristiwa 17 Oktober 1952: Tentara Pretorian Moderator dengan Gerakan Anti-Parlemen pada Masa Kabinet Wilopo. FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 8(1), 47-56. 
Program Kerja Pemerintahan Kabinet Wilopo dan Pelaksanaanya. Eprints UNY. Diakses pada 23 Maret 2023. http://eprints.uny.ac.id/21336/14/BAB%20IV%20fix.pdf 
Widiarso, Fx. 2021. Indonesia dan Perdamaian dengan Jepang. Kompas. Diakses pada 24 Maret 2023. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/indonesia-dan-perdamaian-dengan-jepang


Ditulis oleh Mohammad Jordan Feshilal Antarik (2288200041)

Komentar