Langsung ke konten utama

Unggulan

Perkembangan Politik dan Militer Masa Demokrasi Terpimpin Hingga transisi ke masa Orde Baru

            Disebut demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia pada saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekamo. Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan presiden sangat besar dan mutlak, sedangkan aktivitas dibatasi. Karena kekuasaan presiden yang muda tersebut mengakibatkan penataan kehidupan politik menyimpang dan tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralitas atau pemusatan kekuasaan ditangan presiden yang mana Presiden menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus dengan menjadi Presiden dan Perdana Menteri. Berikut merupakan pelaksanaan atau hal-hal yang dilaksanakan pada saat demokrasi tepimpin. Pembentukan MPRS Pembubaran DPR dan pembentukan DPR GR Pembentukan dewan pertimbangan agung sementara Pembentukan-pembentukan ini didasari oleh keinginan langsung Soekarno dan dianggap penyimpangan. Seperti Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR...

Pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I & II

 


Kabinet Ali Sastroamidjojo I

            Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Jawa Tengah pada 21 Mei 1903. Ali mendapatkan gelar Meester in de Raechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927Ali adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 dan ke-10. Ia menjabat dua kali yaitu pada periode 31 Juli 1953 - 24 Juli 1955 dan 24 Maret 1956 - 14 Maret 1957. Awal ditunjuknya Ali sebagai PM, Ali menjabat sebagai Duta Besari Indonesia untuk Amerika Serikat. Kabinet Ali pertama mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari sepeninggal kabinet Wilopo.
            Kebijakan yang paling menonjol pada masa ini ialah pertama dalam bidang ekonomi yang mana, upaya untuk memperbaiki Ekonomi Indonesia dilakukan dengan membentuk Biro Perancang Negara dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi menteri perancang Nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini menghasilkan RPLT/(Repelita di masa Soeharto). Namun terdapat kendala dalam pembiayaan. Dalam segi politik, Kabinet Ali I berhasil membentuk Panitia Pemilu Pusat pada tanggal 31 Mei 1954 yang diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Kemudian mengumumkan bahwa pemilu 1955 digelar pada 29 September 1955. Dalam politik luar negeri, kabinet ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika 1955 yang mana menyatukan negara-negara non blok.
                Sama dengan kabinet sebelumnya, kabinet ini pun akhirnya mengundurkan diri. Adapun alasannya karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi. misalnya pergolakan DI/TII yang masih berlangsung, korupsi yang memuncak berimbas ke ekonomi rakyat yang turun dan mengurangi kepercayaan terhadap kabinetnya. Sehingga pada tanggal 24 Juni 1955 Kabinet Ali I secara resmi dinyatakan demisioner namun tetap masih bekerja sampai kabinet Burhanuddin Harahap dilantik pada 12 Agustus 1955.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

                       Kabinet Ali yang kedua ini merupakan koalisi dari partai PNI, Masyumi, dan NU. Kebijakan kabinet Ali II cenderung melanjutkan kebijakan kabinet sebelumnya dan kabinetnya sendiri yang pertama seperti:

  • Merencanakan dan melaksanakan Pembangunan Lima Tahun.
  • Mengembalikan Irian Barat
  • Pembatalan KMB
Namun terdapat beberapa keberhasilan dan kendala yang terjadi pada masa kabinet ini.
  • Dibangunnya Pabrik Semen Gresik
  • Dikeluarkannya UU no. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat
  • Mengirimkan utusan-utusan khusus untuk berdialog dengan pihak pemberontak Daud Beureuh di Aceh
    Pada tanggal 14 Maret  1957, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kembali menyerahkan mandat ke presiden. Namun hal ini bukan karena mosi tidak percaya, namun adanya perpecahan antara PNI dan Masyumi.sehingga partai banyak menarik menterinya dari kabinet. Kabinet ini digantikan oleh kabinet Djuanda Kartawidjaja.

Komentar